Minggu, 18 April 2021

PENTINGNYA PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN (PKB) BAGI KOMPENTENSI GURU

Sumber: https://intelmediabogorraya.id/disdik-kota-bogor-gelar-pengembang-keprofesian-berkelanjutan-bagi-guru-sd/.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru merupakan pendidik yang profesional. Dalam hal ini, sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu guru disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru, dengan harapan bisa meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Profesionalitas guru bisa dilakukan melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (PTK) dan mengikuti kegiatan perkembangan keprofesian melalui belajar dari berbagai sumber. Guru juga dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi dan mengembangkan keprofesian (Karim & Joko, 2017).

Kompetensi guru adalah salah satu unsur untuk meningkatkan penyelenggaraan Pendidikan, karena kompetensi guru merupakan praktisi pendidikan yang memahami segala sesuatu yang terjadi pada siswanya dan memiliki tanggung jawab langsung terhadap perkembangan siswa di sekolah. Namun, pada kenyatannya di lapangan masih ada beberapa guru yang beranggapan bahwa pengembangan keprofesian hanya sebagai persyaratan untuk menaikkan pangkat dan jabatan, sehingga setelah mencapai hal tersebut guru tidak perlu lagi mengembangkan profesinya. Banyak faktor yang mempengaruhi seorang guru tidak mempunyai keinginan untuk mengembangkan profesinya, salah satunya yaitu belum diketahui bagaimana dan apa saja manfaat mengembangkan profesi guru (Karim & Joko, 2017).

Guna meningkatkan kompetensi guru di Indonesia, maka strategi dan kebijakan pembangunan di bidang pendidikan harus diprioritaskan, salah satunya adalah melalui pelaksanaan kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) bagi guru dalam jabatan melalui latihan berkala dan merata. Selain itu, juga dilakukan penguatan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Kemudian, juga perlu adanya program pembinaan karir dan pengembangan profesi kepala sekolah serta pengawas sekolah (Kastawi & Yuliejantiningsih, 2019).

Pengembangan Keprofesian Berkelajutan (PKB) adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengisi posisi saat ini dan masa depan. Tiga langkah dasar dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah pengukuran kebutuhan pengembangan profesi, pelatihan, dan evaluasi (Lunenberg dan Ornstein, 2012). Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) bagi guru merupakan bentuk pembelajaran berkelanjutan untuk seorang guru, yang mana kegiatan ini sebagai alat untuk pengembangan profesinya yang harus dilakukan berdasarkan kebutuhan guru yang bersangkutan. Kebutuhan disini yang dimaksud adalah kebutuhan untuk meningkatkan dan mencapai kompetensinya di atas standar kompetensi profesi guru. Kegiatan ini juga berimplikasi pada perolehan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru (Karim & Joko, 2017).

Menurut Danim (2011), di Indonesia hanya sebagian kecil (5%) dari guru yang mempunyai peluang untuk mengembangkan keprofesiannya atas prakarsa lembaga, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jika pelatihan diberikan secara merata, maka setiap guru di Indonesia hanya mempunyai peluang untuk mengikuti pengembangan profesi sekali dalam kurun waktu 20 tahun. Maka, Danim menyarankan supaya para guru melakukan pengembangan profesional secara mandiri.

Studi kasus yang dilakukan Sianturi (2013) menunjukkan bahwa kebutuhan pengembangan keprofesian guru harus berdasarkan karakteristik mereka. Artinya need assessment dalam Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) merupakan langkah yang sangat penting supaya tepat pada sasaran. Menurut hasil penelitian dari Sianturi (2013), menyatakan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan metodologi pembelajaran adalah materi yang diperlukan untuk dilatihkan dalam Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk meningkatkan kompetensi guru.

Metode dan teknik Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang paling banyak digunakan adalah diklat, simulasi, kuliah, diskusi, dan pemodelan perilaku. Namun, on the job training/learining jarang digunakan karena proses pelaksanaannya lebih rumit, padahal kegiatan ini perlu untuk dilaksanakan. Menurut Noe, dkk (2003), kegiatan on the job training merupakan upaya untuk memfasilitasi peningkatan pengetahuan staf mengenai pekerjaan, perilaku, dan keterampilan. Untuk itu, seharusnya ini merupakan suatu teknik yang tepat untuk dapat meningkatkan kompetensi profesional, pedagodik, kepribadian, dan sosial guru. On the jon training merupakan teknik bekerja sambil belajar yang praktis untuk diterapkan.

Kendala utama implementasi Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) adalah kurangnya narasumber, tidak adanya program dari pemerintah daerah, padatnya kegiatan guru di sekolah, kurangnya dana, tidak adanya tuntutan berubah setelah selesai pelatihan, tidak adanya dukungan dari teman sejawat, dan tidak adanya pendampingan dari pengawas ke sekolah. Kendala dari sisi guru adalah rendahnya kemampuan teknologi informasi dari guru, kurangnya minat guru untuk mengembangkan diri, setelah pelatihan guru tidak bersedia menularkan ilmunya kepada guru lain, terbatasnya fasilitas sekolah, dan guru hanya menginginkan sertifikat. Sedangkan kendala dari sisi pemerintah daerah adalah pelatihan yang diberikan tidak merata, waktu pelatihan terlalu singkat, jarang membuat program pelatihan, dan tidak ada penugasan kepada pengawas sekolah untuk mendampingi guru (Kastawi & Yuliejantiningsih, 2019).

 

Daftar Pustaka

Danim, S. 2011. Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional Mandiri. Jakarta: Kendana Prenada Media Group.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Karim, A. & Joko, I. S. 2017. Pelatihan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk Meningkatkan Kompetensi Profesional Bagi Guru SD Muhammadiyah 8 dan SD Islam NU Pungkuran Kota Semarang Melalui Workshop, Klinik, dan Pendampingan. Seminar Nasional Pendidikan, Sains dan Teknologi. Dari https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/3319.

Kastawi, N. S. & Yuliejantiningsih, Y. 2019. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Guru untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jurnal Manajemen Pendidikan, 6 (2), 157-168. Dari https://ejournal.uksw.edu/kelola/article/view/2987.

Noe., Hollenbeck., Gerhart., & Wright. 2003. Human Resource Management. New York: The McGraw-Hill Companies.

Sianturi, C. L. 2013. Asesmen Kebutuhan Pengembangan Profesionalisme Guru SMK. Jurnal Pendidikan Humaniora, 1 (1), 16-24. Dari http://journal.um.ac.id/index.php/jph/article/view/3793.

Minggu, 11 April 2021

PENTINGNYA PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN (PKB) DALAM DUNIA PENDIDIKAN


Berdasarkan hasil survey dari badan pengembangan profesionalisme Inggris, masih banyak para pekerja yang tidak melihat diri mereka sebagai pembelajar dan mereka merasa bahwa pengembangan professionalnya merupakan tanggung jawab instansi atau perusahaan tempatnya bekerja, sedangkan sebagian besar instansi atau perusahaan melihat bahwa pembelajaran merupakan sesuatu mempunyai nilai individual dan merupakan tanggung jawab para pekerja itu sendiri untuk mengembangkan kompetisi pribadinya pada pasar kerja. Hal ini menunjukkan bahwa supaya Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) mampu berjalan dengan baik [5].

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) merupakan suatu proses belajar yang dapat membantu seseorang agar terpenuhi perannya pada masa kini ataupun masa depan yang lebih efektif dengan cara mempertahankan standar kompetensi profesional dan selalu up-to-date dengan pasar kerja yang semakin lama semakin kompetitif [8]. Berdasarkan hal tersebut, maka Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) adalah proses untuk selalu belajar keprofesionalan seseorang saat dia bekerja dalam profesi tersebut, yang mana hal ini terdiri dari kombinasi kegiatan formal dan informal, seperti kursus di lembaga pelatihan pendidikan, partisipasi dalam komite, konferensi, dan belajar mandiri [3].

Tujuan dari Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain: (1) tanggung jawab seseorang pada pembelajaran sepanjang hayat (life long learning), (2) merencanakan dan mengidentifikasi agar mendapatkan keterampilan yang diperlukan, (3) meningkatkan tingkat kelayakan kerja dan praktek profesional, (4) memastikan bahwa standar kerja profesional masih dapat dipertahankan, dan (5) merencanakan perubahan karir [5].

Beberapa manfaat dari Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain: (1) adanya peningkatan kepuasan kerja karena seseorang dapat bekerja dengan maksimal; (2) meningkatkan keamanan pada bidang profesional, dan (3) meningkatkan pendapatan seseorang karena dengan tingkat keterampilan yang lebih tinggi maka akan menghasilkan gaji yang lebih tinggi pula [5].

Menurut Permeneg PAN dan RB No. 16 Tahun 2009 per Tanggal 1 Januari 2013, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) merupakan sesuatu hal sebagai sarana untuk dapat mewujudkan profesionalisme guru di Indonesia. Terkait dengan profesi guru, salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional adalah pendidik dan tenaga kependidikan. Komponen ini merupakan salah satu dari masukan instrumental, disamping kurikulum dan fasilitas pendidikan. Tinggi rendahnya mutu pendidikan juga ditentukan oleh mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Terkait dengan mutu pendidik dan tenaga kependidikaan, maka UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa “guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan nasional”. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah program S1 atau D-IV. Konsekuensi dari guru sebagai profesi adalah guru harus melaksanakan kegiatan yang menunjang profesinya dalam program pemerintah yang dikenal dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) [5].

Pengembangan keprofesian guru merupakan suatu proses yang didesain untuk meningkatkan dan memperluas pengetahuan profesional, keterampilan pedagogis, dan sikap guru, sehingga guru mampu melaksanakan proses intruksional tersebut [2]. Sependapat dengan hal tersebut, Bellanca (2009) berpendapat bahwa pengembangan profesional guru adalah salah satu upaya untuk dapat membekali guru dengan keterampilan dan pengetahuan yang bisa mengarahkan guru untuk mengubah kualitas praktik pembelajaran sebelumnya [1]. Pengembangan dan pembinaan guru sebaikanya dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan, supaya guru bisa menganggap dirinya sebagai guru yang profesional. Hal-hal yang dikembangkan dan dibinakan kepada guru merupakan hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan apa yang menjadi keterampilannya, sehingga apa yang didapatkan guru pada saat mengikuti pengembangan dan pembinaan dapat bermanfaat bagi karirnya [7].

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) juga memiliki keterbatasan, diantaranya yaitu: (1) waktu (masalah terbesar), karena akibat kesibukannya seseorang sering mengatakan bahwa dia kekurangan waktu, sehingga menjadi masalah untuk bisa terus belajar; (2) kurangnya dukungan dari badan profesional; (3) badan profesional masih berorientasi input; (4) masih bermodus box-ticking sehingga PKB menjadi pekerjaan birokrasi; (5) resources, yang mana beberapa pengembangan masih membutuhkan biaya;  dan (6) geografi, yang mana beberapa penelitian menyebutkan bahwa sejumlah orang masih ada yang mengeluh karena jauhnya tempat tinggal mereka dengan tempat diadakannya pertemuan profesional sehingga mereka tidak bisa hadir [5].

Keterbatasan-keterbatasan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) juga terjadi pada guru. Konsekuensi dari guru sebagai profesi adalah guru harus melakukan suatu kegiatan yang dapat menunjang profesinya, yang mana pada Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, PKB guru terdiri dari 3 sub unsur, yaitu: (1) melaksanakan pengembangan diri, (2) melaksanakan publikasi ilmiah, dan (3) melaksanakan karya inovatif. Pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang masih belum optimal disebabkan karena PKB guru yang lebih banyak diikuti adalah kegiatan karya inovatif. Padahal idealnya guru harus mampu untuk melaksanakan ketiga komponen kegiatan PKB tersebut [7].

Hambatan dalam pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru adalah kurangnya rasa percaya diri, masalah waktu, beban pekerjaan yang tinggi, dan bagi guru yang kurang tanggap dengan perkembangan teknologi maka akan menjadi hal yang membatasi guru dalam berkarya.  Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala/hambatan kegiatan PKB diantaranaya yaitu, guru dituntut untuk berani mengakui dirinya sendiri, guru dituntut untuk mampu memanajemen waktu dengan baik. Bagi guru-guru yang kurang tanggap dengan perkembangan teknologi, maka upaya yang dapat dilakukan pihak sekolah yaitu dengan cara menyediakan sebuah wadah pelatihan-pelatihan untuk mengupgrade kemampuan masing-masing guru sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya [7].

 

Daftar Pustaka

[1] Bellanca, R. A. 2009. Designing Professional Development for Change. California: Corwin Press.

[2] Craft, A. 2000. Continuing Professional Development: A Practical Guide for Teachers and School (2nd ed.). London: Rautledge Falmer.

[3] Cunningham., Ian, Dawes, G., & Bennett, B. 2004. The Handbook of Work Based Learning. Gower Publishing Company.

[4] Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas.

[5] Effendi, H & Hendriyani, Y. 2018. Mobile Learning sebagai Alternati Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Guru Profesional. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016. Dari https://osf.io/preprints/inarxiv/v83ef/.

[6] Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dari www.permenpan.no.16.go.id.

[7] Pratama, A. L. 2018. Pemberdayaan Pendidik (Studi Kasus Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Guru Di SMKN Seni). Jurnal Akuntabilitas Manajemen Pendidikan, 6 (1), 90-104. Dari http://journal.uny.ac.id/index.php/jamp.

[8] The Association of Professional Engineers and Geoscientists of BC. Continuing Professional Development Guideline. Burnaby. Dari https://www.egbc.ca/.

 




 

Selasa, 30 Maret 2021

PENTINGNYA PENDEKATAN SCIENCE, TECHNOLOGY, ENGINEERING, DAN MATHEMATIC (STEM) DALAM PEMBELAJARAN FISIKA


Perkembangan ilmu teknologi dan informasi saat ini sudah semakin pesat. Bangsa yang akan mengalami kemajuan terlebih dahulu adalah bangsa yang dapat berinovasi untuk menciptakan produk-produk teknologi. Hal itu akan mungkin dapat terwujud apabila bangsa tersebut menguasai ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK). Indonesia sebagai negara yang besar dengan kekayaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, sudah sepatutnya menjadi bangsa yang ikut serta berperan dalam memainkan perkembangan tersebut (Kaniawati, dkk., 2015).

Dalam rangka memajukan bangsa Indonesia di bidang teknologi, maka memasukkan teknologi pada bidang Pendidikan juga diperlukan karena generasi muda merupakan sosok yang menjadi harapan untuk memajukan bangsa. Indonesia dapat menyesuaikan pola pendidikan dengan memasukan pendekatan Science, Technology, Engineering and Mathematic (STEM) dalam pembelajaran di sekolah supaya dapat memunculkan minat siswa untuk menyukai dan menguasai sains, teknologi, rekayasa dan matematika (Kaniawati, dkk., 2015).

Pembelajaran dengan pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) adalah pembelajaran yang tepat diterapkan sesuai dengan perkembangan abad 21. Pendekatan STEM merupakan alat supaya dapat mengembangkan pola pikir dan mengasah pemikiran kritis siswa. Meskipun pendekatan STEM lebih difokuskan pada ilmu eksakta, tetapi pendekatan ini tidak menngesampingkan unsur sosialnya (Ihsanul, 2015). Pendekatan STEM merupakan suatu metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan antar ilmu dan pengaplikasiannya didampingi dengan pembelajaran yang aktif berbasis permasalahan (Nenny, 2015).

Pembelajaran dengan pendekatan STEM akan mengitegrasikan keempat komponennya dengan memfokuskan pada pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pembelajaran dengan pendekatan STEM, proses pembelajaran akan melalui praktik dan penerapan konten dasar STEM pada situasi yang sesuai dengan kehidupan nyata, yang mana tidak hanya membahas ilmu pengatahuan saja, namun juga mengkaitkannya dengan teknologi, Teknik, dan matematika (Bybee, 2013). Dalam hal ini, bisa juga digunakan dalam pembelajaran fisika yang dikaitkan dengan teknologi, teknik, dan matematika dalam pemecahan masalah sesuai kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran fisika dengan pendekatan STEM terdiri dari: (1) Aspek sains, yaitu menggunakan pengetahuan dan keterampilan proses sains guna memahami dan memanipulasi gejala alam (Hannover, 2011); (2) Aspek teknologi, yaitu menggunakan teknologi guna mengetahui bagaimana teknologi dapat dikembangkan dan teknologi dapat digunakan untuk memudahkan kerja manusia; (3) Aspek teknik, yaitu mengoperasikan, merangkai atau mendesain dengan berpacu pada teknologi dan sains (Bligh, 2015); dan (4) aspek matematika, yaitu untuk menyelesaikan masalah, menganalisis, membuktikan, mengiterpretasikan solusi dari data dan hasil perhitungan.

Penerapan pendekatan STEM dalam kegiatan pembelajaran fisika terdiri dari 4C yaitu creativity, critical thinking, collaboration, dan communication, sehingga melalui pendekatan ini siswa bisa menemukan solusi inovatif dari masalah yang dihadapi secara nyata dan dapat menyampaikan solusi tersebut dengan baik (Beers, 2011). Pembelajaran fisika menggunakan pendekatan STEM bisa membantu siswa dalam memecahkan masalah dan menarik kesimpulan dari pembelajaran sebelumnya dengan mengaplikasikannya melalui sains, teknologi, teknik dan matematika (Lou, dll., 2017). Keadaan ini dapat menjadikan siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang lengkap, lebih terampil dalam menangani masalah kehidupan nyata dan mengembangkan cara berpikir kritis siswa.

Praktek Teknik dan sains dalam pendekatan STEM dibagi menjadi 8 komponen yang dapat dipilih dalam memecahkan permasalahan dalam pembelajaran (Evans, 2011). Kedelapan komponen tersebut terdiri dari, membuat pertanyaan dan mendefinisikan masalah, mengembangkan dan menggunakan model, merencanakan dan melakukan investigasi, menganalisis dan mengintepretasikan data, menggunakan pemikiran matematika dan komputasi, mengkonstruksi penjelasan dan merancang solusi, pelibatan dalam argumentasi dan pembuktian, serta mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi. Pemilihan komponen yang digunakan dalam pembelajaran tergantung pada keterampilan yang ingin dikembangkan kepada siswa dan masalah yang ingin dipecahkan.

Pendekatan STEM merupakan suatu disiplin ilmu yang saling berkaitan erat satu dengan yang lain. Sains memerlukan matematika sebagai alat dalam mengolah data, sedangkan teknologi dan teknik merupakan aplikasi dari sains. Pendekatan STEM dalam pembelajaran fisika diharapkan mampu menghasilkan pembelajaran yang bermakna bagi siswa melalui integrasi konsep, pengetahuan, dan keterampilan secara sistematis. Beberapa manfaat dari pendekatan STEM membuat siswa dapat memecahkan masalah menjadi lebih baik, inventors, inovator, pemikir logis, mandiri, dan literasi teknologi (Stohlmann, dkk., 2012). Melalui pendekatan STEM, siswa akan mempunyai memiliki teknologi dan sains yang nampak dari membaca, mengamati, menulis, dan melakukan sains sehingga bisa dijadikan bekal untuk hidup bermasyarakat dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan aspek STEM (Mayasari, dkk., 2014).

 

Daftar Pustaka

Beers, S. Z. 2011. 21st Century Skills: Preparing for Their Future. London: ASD Author.

Bligh, A. 2015. Towards a 10-Year Plan for Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM) Education and Skills in Queensland. Queensland: Department of Education, Training and the Arts.

Bybee, R. W. 2013. The Case for STEM Education: Challenges and Opportunities. Arlington- Virginia: National Science Teachers Association Press.

Evans, D. 2018. Science and Engineering Practices. National Science Teachers Association (online). (https://ngss.nsta.org/PracticesFull.aspx). diakses 30 Maret 2021.

Hannover, R. 2011. Successful K-12 STEM Education: Identifying Effective Approaches in Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Washington DC: National Academies Press.

Kaniawati, D. S., Kaniawati, I., & Suwarma, I. R. 2015. Study Literasi Pengaruh Pengintegrasian Pendekatan STEM Dalam Learning Cycle 5E Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa pada Pembelajaran Fisika. Seminar Nasional Fisika (SINAFI) 2015. Bandung: Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Dari https://www.researchgate.net/profile/Muhamad-Nugraha/publication/308163493_Upaya_Meningkatkan_Aktivitas_Dan_Hasil_Belajar_Siswa_Melalui_Model_Kooperatif_Tipe_STAD_Pada_Getaran_Dan_Gelombang_Di_Kelas_VIII_F_SMPN_36_Bandung/links/57dbb61d08ae4e6f1843df7e/Upaya-Meningkatkan-Aktivitas-Dan-Hasil-Belajar-Siswa-Melalui-Model-Kooperatif-Tipe-STAD-Pada-Getaran-Dan-Gelombang-Di-Kelas-VIII-F-SMPN-36-Bandung.pdf#page=47.

Lou., Shi-Jer., Chou, Y., Shih, R., & Chung, C. 2017. A Study of Creativity in CaC2 Steamship-derived STEM Project-based Learning. EURASIA Journal of Mathematics Science and Technology Education, 13 (6), 2387- 2404. Dari https://www.ejmste.com/article/a-study-of-creativity-in-cac2-steamship-derived-stem-project-based-learning-4776.

Mayasari, T., Kadorahman, A., & Rusdiana, D. 2014. Pengaruh Pembelajaran Terintegrasi Science, Technology, Engineering, and Mathemathics (STEM) pada Hasil Belajar Peserta Didik: Studi Meta Analisis. Prosiding Semnas Pensa VI “Peran Literasi Sains”, 371-377. Surabaya: UNESA.

Stohlmann, M., Moore, T. J., & Roehrig, G. H. 2012. Considerations for Teaching Integrated STEM Education. Journal of Pre-College Engineering Education Research (J-PEER), 2 (2), 1–28. Dari https://docs.lib.purdue.edu/jpeer/vol2/iss1/4/.

Sabtu, 27 Maret 2021

PENTINGNYA KOMPETENSI KEPROFESSIONALAN GURU DALAM PEMBELAJARAN FISIKA


Indonesia sampai saat ini masih mengalami permasalahan di bidang pendidikan, salah satunya adalah yang berkaitan dengan permasalahan sumber daya manusia yang melakukan pembelajaran, yaitu guru. Guru merupakan seorang pendidik profesional yang memilik tugas untuk mendidik, membimbing, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini, sekolah dasar, dan sekolah menengah. Guru sebagai orang yang selalu berhubungan langsung dengan siswa di kelas melalui suatu proses pembelajaran, menjadi kunci utama agar terciptanya suasana akademik yang kondusif dan siswa yang berhasil (Andriani, 2018).

Mata pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah, salah satunya adalah fisika. Jenis pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran fisika di sekolah sangat bergantung pada guru. Apabila guru dapat memberi suatu proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik lingkungan siswa, karakteristik siswa, dan karakteristik materi yang disampaikan, maka kesulitan-kesulitan ini mampu diatasi dan ditanggulangi. Adanya guru yang professional akan dapat meningkatkan minat belajar fisika dan sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran fisika.  Sebaik apapun kurikulum, tetapi apabila tidak disertasi dengan adanya guru yang berkualitas, maka akan sia-sia. Hal ini menunjukkan bahwa berhasil dan tidaknya pelaksanaan kurikulum sekolah sangat bergantung pada kinerja guru (Andriani, 2018).

Menurut Permendikbud RI nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, terdapat standar yang harus dimiliki oleh guru. Guru harus sekurang-kurangnya berpendidikan S1 dan memiliki 4 kompetensi sebagai bentuk perwujudan kinerjanya, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Seorang guru fisika harus mempunyai: 1) pengetahuan terhadap materi fisika; 2) pengetahuan mengenai metode pembelajaran; 3) pengetahuan tentang manajemen kelas, sosiologi, dan psikologi; 4) pengetahuan mengenai pengukuran dan evaluasi; 5) dan pengetahuan mengenai administrasi sekolah (Eryilmaz & Ilaslan, 1999). Kelima hal tersebut ini merupakan perwujudan dari 4 kompetensi guru.

Salah satu kompetensi guru yang sangat penting yaitu kompetensi professional. Menurut Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat (3) butir c menyebutkan bahwa yang dimaksud kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing siswa supaya dapat memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi profesional guru adalah sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan profesi yang menuntut berbagai keahlian di bidang pendidikan. Kompetensi professional merupakan kemampuan dasar guru dalam pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, sikap yang tepat pada lingkungan, bidang studi yang dibinanya, dan mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar (Nurjanah, 2013). Kompetensi profesional guru merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga pendidik yang meliputi, penguasaan pengetahuan, pedagogik, metodologi, manajemen, dan sebagainya yang tercermin dalam kinerja di lingkungan pendidikan (Dudung, 2018).

Kompetensi profesional mencakup substansi keilmuan mata pelajaran, teori, konsep, perkembangan keilmuan, aplikasi, serta penguasaan pada metodologi dan struktur keilmuannya. Penguasaan materi mencakup pada pemilihan, penataan, pengemasan, dan presentasi materi bidang ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Pemahaman yang dalam terhadap konten fisika, dapat membantu guru dalam meningkatkan pemahaman siswa mengenai materi, sehingga akan meningkatkan hasil belajar siswa (Mahaffie, 2014). Guru harus dapat mengidentifikasi materi, menyeleksi materi, dan merencanakan cara mengajarkan materi tersebut kepada siswa, sehingga akan memungkinkan adanya peningkatan dan penambahan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan siswa (Department for Education and Skills, 2004).

Seorang guru fisika dapat dikatakan profesional apabila mampu menguasai struktur, struktur, dan metode keilmuan yang terkait dengan bidang fisika, dan mampu menyajikan materi fisika kepada siswa dengan jelas menggunakan model pembelajaran dan analogi secara runtut, sistematis, terbaru, dan kedalamannya sesuai dengan perkembangan siswa. Dari hal ini, kompetensi profesional guru dapat dikategorikan: 1) memahami kompetensi bidang keahlian (fisika); 2) menguasai struktur, materi, , dan konsep keilmuan yang mendukung di bidang fisika; 3) mampu memilih dan mengembangkan materi pembelajaran; 4) mampu mengembangakan kurikulum dan silabus yang terkait dengan bidang fisika; 5) inovatif  dan kreatif dalam menerapkan ilmu yang berkaitan dengan bidang fisika; 6) mampu menerapkan teknologi informasi dalam pembelajaran fisika; 7) mampu melakukan kegiatan reflektif agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran fisika; 8) mampu berkomunikasi dalam komunitas profesi guru fisika dan profesi lain secara lisan dan tulisan (Andriani, 2018).

Kompetensi guru merupakan kemampuan guru untuk menyalurkan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengerjakan kewajiban pembelajaran secara bertanggung jawab dan professional. Kompetensi yang dikembangkan oleh guru profesional dalam proses pembelajaran, yaitu: 1) mencerminkan nilai kepribadian; 2) menguasai landasan pendidikan dan mengembangkan kompetensi keahlian; 3) menyusun dan mengembangkan perangkat pembelajaran; 4) menguasai dan melaksanakan program pembelajaran; 5) menilai proses dan hasil pembelajaran; 6) menyusun administrasi; 7) menggunakan berbagai metode sesuai karakteristik siswa; 8) mengkaitkan pembelajaran terhadap masyarakat, industri, dan perguruan tinggi serta penyesuaian terhadap perkembangan teknologi; 9) melaksanakan penelitian; 10) mempublikasikan penelitian (Nurtanto, 2016).

Upaya-upaya yang perlu diperlukan untuk menguatkan kompetensi professional guru, diantaranya adalah mengoptimalkan  organisasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai wadah komunikasi dan pendalaman materi-materi pelajaran, pendidikan dan pelatihan yang  berkaitan  dengan  penguasaan  materi  sekolah, serta selalu mengoptimalkan penguasaan materi ajar, sehingga guru dapat mempunyai wawasan yang mendalam dan luas yang kemudian dapat membelajarkan siswa dengan baik (Dudung, 2018).

 

Daftar Pustaka

Andriani, R. 2018.  Kinerja Guru Fisika: Bagaimana Persepsi Siswa Terhadap Kinerja Guru Mereka?. Journal of Natural Science and Integration, 1 (1), 42-52. Dari http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/JNSI/article/view/5194.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Pasal 28 Ayat (3) Butir C tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Department for Education and Skills. 2004. Pedagogy and Practice: Teaching and Learning in Secondary Schools, Unit 2: Teaching Models. DfES Publications. Dari http://www.teachersity.org/resources/Pedagogy-and-practice-teaching-and-learning-in-secondary-schools-en.pdf.

Dudung, A. 2018. Kompetensi Profesional Guru. Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, 5 (1), 9-19. Dari http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jkkp/article/view/6451.

Eryilmaz, A., & Ilaslan, H. 1999. Determining and Evaluating Ideal Physics Teachers Characteristics. Hacettepe Üniversitesi Eğitim Fakültesi Dergisi, 53-60. Dari https://dergipark.org.tr/en/download/article-file/88088.

Mahaffie, L. 2014. Applications for New Awards; Teacher Quality Partnership Grant Program. Federal Register, 79 (102) 1-12. Dari https://www.federalregister.gov/documents/2014/05/28/2014-12346/applications-for-new-awards-teacher-quality-partnership-grant-program.

Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurjanah, S. 2013. Kompetensi Profesional Guru, (Online), (http://lycheangga.blogspot.com/2013/02/kompetensi-profesional-guru_23.html), diakses 27 Maret 2021.

Nurtanto, M. 2016. Mengembangkan Kompetensi Profesionalisme Guru dalam Menyiapkan Pembelajaran yang Bermutu. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pendidikan, 553-565. Dari https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/snip/article/viewFile/8975/6535.

Republik Indonesia. 2007. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Seketariat Negara.


 

Selasa, 23 Maret 2021

KEEFEKTIFAN MODEL COLLABORATIVE LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA


Pada suatu proses pembelajaran, siswa memiliki peran yang penting peranan untuk dapat menentukan keberhasilan siswa dalam mempelajari sesuatu yang dipelajari. dalam menentukan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam suatu pembelajaran harus disesuaikan dengan, materi yang akan diajarkan, kondisi, dan sedapat mungkin teknik pembelajaran tersebut dapat meningkatkan keikutsertaan siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan dengan menggali potensi yang ada pada diri siswa. Adanya penggunaan model pembelajaran yang tepat merupakan alternatif untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar siswa terhadap suatu materi pelajaran, khususnya materi fisika. Adanya model pembelajaran yang tepat akan dapat meningkatkan mutu pengajaran. Penerapan model pembelajaran harus ditinjau dari segi kecocokan, keefisienan, dan keefektifan dengan karakteristik dari materi pelajaran dan siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam suatu proses pembelajaran, khususnya pembelajaran fisika adalah model Collaborative Learning (Ayuna, dkk., 2015).

Berdasarkan penelitian Sumarli (2014), menunjukkan bahwa pada pelaksanaan proses pembelajaran di kelas masih sering ditemukan banyaknya siswa yang tidak aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini yang menyebabkan ilmu yang disampaikan oleh guru tidak merata dan juga guru mengalami kesulitan dalam melakukan penilaian kepada siswa di dalam kelas. Rendahnya hasil belajar siswa dalam suatu proses pembelajaran diakibatkan oleh beberapa faktor, baik dari guru atau siswa. Model Collaborative Learning bisa digunakan untuk mengembangkan cara berfikir siswa secara berkelompok maupun individual, sehingga hasil pembelajaran siswa dapat mengalami perubahan (Endah, dkk., 2012).

Pelaksanaan model Collaborative Learning yang dipadukan dengan metode tutor sebaya merupakan salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh guru dalam memperbaharui, memperbaiki, dan membantu siswa untuk dapat memahami konsep fisika. Melalui metode tutor sebaya diharapkan siswa dapat mengajarkan kepada temannya dengan konsep fisika yang dipelajarinya. Model Collaborative Learning yang dipadukan dengan metode tutor sebaya ini berdasarkan pada proses aktivitas social dan pengembangan pengetahuan, yang mana siswa perlu untuk mempraktikkannya. Disini, siswa bukanlah hanya pendengar dan penonton yang pasif, namun siswa disini harus terlibat aktif dalam pembelajaran supaya ilmu yang didapat terserap dengan lebih baik (Zulfira, dkk., 2016).

Model Collaborative Learning adalah salah satu model pembelajaran inovatif yang berpusat pada siswa. Model Collaborative Learning ini diharapkan dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas siswa, dan interaksi sosial siswa pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Model Collaborative Learning didasarkan pada asumsi-asumsi tentang proses belajar siswa sebagai berikut: (Purnamawati & Jaya, 2016).

1.        Belajar itu konstruktif dan aktif. Untuk dapat mempelajari bahan pembelajaran, siswa harus ikut serta terlibat secara aktif dengan bahan pembelajaran tersebut. Siswa perlu mengintegrasikan bahan pembelajaran dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya;

2.        Siswa dari berbagai latar belakang. Setiap siswa memiliki perbedaan dalam banyak hal, seperti latar belakang, pengalaman, gaya belajar, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu harus diterima dan diakui dalam suatu kegiatan kerja sama dan bahkan diperlukan dalam meningkatkan mutu pencapaian hasil belajar sisiwa dalam suatu proses pembelajaran;

3.        Belajar itu bergantung pada konteks. Kegiatan pembelajaran tentunya menghadapkan siswa pada tugas atau masalah yang menantang terkait dengan konteks yang telah dikenal siswa. Siswa akan terlibat langsung dalam menyelesaikan tugas ataupun dalam memecahkan masalah tersebut;

4.        Belajar itu bersifat sosial. Proses belajar merupakan suatu proses interaksi sosial yang mana didalamnya siswa akan membangun makna yang diterima bersama kelompoknya. Model Collaborative Learning merupakan model pembelajaran dimana setiap siswa dengan variasi yang bertingkat akan bekerja sama dalam suatu kelompok kecil dengan mengarah pada satu tujuan. Dalam kelompok ini, siswa akan saling membantu antara satu dengan yang lain. Jadi, situasi belajar kolaboratif terdapat unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.

Berikut ini terdapat langkah-langkah dalam Collaborative Learning: (Suryani, 2010)

1.      Siswa dalam suatu kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugasnya sendiri-sendiri.

2.      Semua siswa dalam kelompok harus membaca, menulis, dan berdiskusi.

3.      Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, meneliti, mendemonstrasikan, memformulasikan, dan menganalisis jawaban-jawaban tugas atau permasalahan dalam LKS atau permasalahan yang ditemukan sendiri.

4.      Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil dari pemecahan masalah, maka setiap siswa menulis laporan secara mandiri dengan lengkap.

5.      Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (diupayakan supaya semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratif di depan kelas. Untuk siswa di kelompok lain tugasnya adalah mengamati, membandingkan, dan mencermati hasil presentasi tersebut, kemudian menanggapi. Kegiatan ini dilakukan kurang lebih selama 20-30 menit.

6.      Setiap siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) pada laporan yang akan dikumpulkan.

7.      Laporan setiap siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan disusun perkelompok kolaboratif.

8.      Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dan dikembalikan pada pertemuan berikutnya, yang selanjutnya didiskusikan dengan siswa.

Berdasakan penelitian Ayuna, dkk. (2015), menunjukkan bahwa hasil belajar Fisika yang diperoleh peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Sungguminasa setelah menggunakan model Collaborative Learning telah berada pada kategori tinggi yang dilihat dari skor rata-rata yang dicapai serta ketuntasan belajarnya. Jika siswa dalam proses pembelajaran menggunakan model Collaborative Learning, siswa akan menjadi termotivasi untuk mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan. Selanjutnya, penelitian dari Zulfira, dkk. (2016), menunjukkan bahwa terdapat pengaruh hasil belajar fisika siswa dengan menggunakan model Collaborative Learning yang dipadu dengan metode tutor sebaya terhadap hasil belajar siswa. Model ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan metode Scientific. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, artinya model Collaborative Learning efektif digunakan dalam pembelajaran fisika untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

 

Daftar Pustaka

Ayuna, Azis, A., & Khaeruddin. 2015. Penerapan Strategi Collaborative Learning dalam Pembelajaran Fisika Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VII H SMP Negeri 1 Sungguminasa. Jurnal Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar, 3 (1), 48-55. Dari https://www.neliti.com/publications/122225/penerapan-strategi-collaborative-learning-dalam-pembelajaran-fisika-terhadap-has.

Endah, Trapsilo, & Supriadi. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kolaboratif dengan Media Sederhana pada Pembelajaran Fisika di SMP. 1 (2). Dari http://journallibrary.unej.ac.id/client/en_US/default/search/asset/488.

Purnamawati, & Jaya, H. 2016. Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif Melalui Pendekatan CSCL (Computer Supported Collaborative Learning) pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 3 (2), 167–186. Dari https://ojs.unm.ac.id/mkpk/article/view/2609.

Sumarli, E. M. 2014. Model Pembelajaran Kolaboratif dengan Tutor Sebaya pada Pokok Bahasan Rangkaian Seri-Paralel Hambatan Listrik. Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Fisika, 1 (2). Dari https://www.researchgate.net/publication/327533903_Model_Pembelajaran_Kolaboratif_dengan_Tutor_Sebaya_pada_Pokok_Bahasan_Rangkaian_Seri-Paralel_Hambatan_Listrik.

Suryani, N. 2010. Implementasi Model Pembelajaran Kolaboratif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa. Majalah Ilmiah Pembelajaran, 8 (2). Dari https://journal.uny.ac.id/index.php/mip/article/view/3654.

Zulfira, T., Ngadimin, & Melvina. 2016. Pengaruh Metode Pembelajaran Collaborative Learning Dipadu dengan Metode Tutor Sebaya Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Fisika, 2 (1), 170-174. Dari http://www.jim.unsyiah.ac.id/pendidikan-fisika/article/view/2229/1133.


 

Sabtu, 20 Maret 2021

BAGAIMANA PENGHARGAAN PROFESI GURU DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG DAN APA SAJA JENIS PENGHARGAAN GURU?


Peranan strategis guru dalam setiap upaya untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan relevansi pendidikan, maka pengembangan profesionalisasi guru adalah suatu kebutuhan. Sebagai seorang guru profesional harus memiliki ciri-ciri berikut ini: (1) memiliki komitmen pada proses belajar siswa; (2) dapat berfikir secara sistematis mengenai apa yang dilakukan dan juga belajar dari pengalaman yang telah dialaminya; (3) menguasai materi pelajaran dan cara mengajarkannya secara mendalam; dan (4) merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya yang memungkinkan mereka untuk selalu meningkatkan profesionalismenya (Sutarsih, 2012).

Dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan, pemerintah melalui Undang-Undang Sisdiknas memberikan penghargaan kepada guru dan dosen. Sebagai tenaga profesional, guru mempunyai hak yang sama untuk bisa mendapatkan kesejahteraan dan penghargaan (Marjuni, 2020). Menurut Undang-Undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 36 ayat (1), menyatakan bahwa penghargaan akan diberikan kepada guru yang berpreatasi, berdedikasi luar biasa dan bertugas didaerah khusus. Sedangkan pada ayat (2), menyatakan bahwa guru yang gugur dalam melakukan tugas di daerah khusus akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Menurut Undang-Undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 37 ayat (1), penghargaan dapat diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi dan satuan pendidikan. Pada ayat (2), disebutkan bahwa penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat kelurahan/desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional dan internasional. Pada ayat (3), penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam atau dalam bentuk penghargaan lain. Selajutnya, pada ayat (4), penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari guru nasional, hari ulang tahun satuan Pendidikan, hari pendidikan nasional, dan hari besar lainnya. Kemudian, pada pasal (38), disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang undangan.

Berikut ini jenis-jenis penghargaan dan kesejahteraan bagi guru:

1.      Penghargaan Guru Berprestasi

Pemberian penghargaan kepada guru berprestasi dilakukan melalui proses pemilihan yang ketat secara berjenjang, mulai dari tingkat satuan pendidikan, kecamatan dan/atau kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Pemilihan guru berprestasi ini dapat mendorong motivasi, loyalitas, dedikasi, dan profesionalisme guru, dengan harapan akan dapat berpengaruh positif pada prestasi kerja dan kinerjanya. Prestasi kerja dapat dilihat dari kualitas lulusan satuan pendidikan sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif, dan produktif (Marjuni, 2020).

2.      Penghargaan Guru Berdedikasi di Daerah Khusus/Terpencil

Guru yang bertugas di daerah khusus, akan mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Pemberian penghargaan kepada guru yang bertugas di daerah khusus ini dilakukan secara rutin, baik pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional maupun pada saat hari peringatan lainnya. Tujuan penghargaan ini adalah sebagai berikut: (Sudarma, 2013)

a.       Mengangkat harkat dan martabat guru atas dedikasi, pengabdian profesionalitas, dan prestasinya, sebagai pendidik bangsa yang patut untuk dihargai dan dihormati oleh masyarakat, pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia.

b.       Memberikan motivasi kepada guru untuk terus meningkatkan prestasi, loyalitas, pengabdian, dan dedikasi serta darma baktinya kepada bangsa dan negara melalui pelaksanaan kompetensinya secara profesional sesuai kualifikasi masing-masing.

c.       Meningkatkan loyalitas dan kesetiaan guru dalam melakukan pekerjaannya sebagai profesi, meskipun bekerja di daerah yang terpencil dan terbelakang; daerah yang berbatasan dengan negara lain; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah yang mengalami bencana alam; bencana sosial; atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain yang menjalani kehidupan secara prihatin.

3.      Penghargaan Sebagai Tanda Kehormatan Satyalancana Pendidikan

Menurut Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 69, kriteria seorang guru yang berhak menerima penghargaan Satyalancana Pendidikan terdiri dari persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum antara lain, merupakan warga negara Indonesia; berakhlak dan berbudi pekerti baik; serta memiliki nilai dalam DP3 sangat baik sebagai unsur kesetiaan dan sekurang-kurangnya bernilai baik sebagai unsur-unsur lainnya. Sedangkan persyaratan khusus meliputi, diutamakan bagi yang bertugas/pernah bertugas di tempat terpencil atau tertinggal sekurang-kurangnya selama lima tahun secara terus-menerus atau selama delapan tahun secara terputus-putus; diutamakan bagi yang bertugas/pernah bertugas di daerah perbatasan, bencana, atau konflik sekurang-kurangnya selama 3 tahun secara terus-menerus atau selama 6 tahun secara terputus-putus; diutamakan bagi yang bertugas selain di daerah khusus sekurang-kurangnya selama 8 tahun secara terus-menerus dan bagi kepala sekolah sekurang-kurangnya bertugas selama 2 tahun; berprestasi dan/atau berdedikasi luar biasa dalam melaksanakan tugas sekurang-kurangnya mendapat penghargaan tingkat nasional; berperan aktif dalam melakukan kegiatan asosiasi/organisasi profesi guru atau kegiatan pembangunan dan kemasyarakatan pada berbagai sector; tidak pernah mempunyai catatan pelanggaran atau menerima sanksi sedang dan berat menurut peraturan perundang-undangan (Muslich, 2020).

4.      Penghargaan Guru yang Berhasil dalam Pembelajaran

Tujuan adanya lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran atau lomba sejenisnya diharapkan dapat memotivasi para guru untuk dapat lebih meningkatkan profesionalismenya, khususnya dalam hal kemampuannya meranvang, menyajikan, menilai proses dan hasil pembelajaran atau proses bimbingan kepada siswa; dan meningkatkan kebiasaan guru untuk selalu mendokumentasikan hasil kegiatan pengembangan profesinya secara baik dan benar (Sudarma, 2013).

5.      Penghargaan Guru Pemenang Olimpiade

Menurut Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 70, kegiatan OSN Guru (ONS Guru) merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran mata pelajaran yang terdapat dalam kerangka OSN. Kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk guru dapat meningkatkan kompetensi profesional atau akademik dan menumbuhkembangkan semangat kompetisi agar dapat memotivasi peningkatan kompetensi guru dalam rangka untuk mendorong mutu proses dan luaran pendidikan. Tujuan kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk guru adalah, (1) menumbuhkan budaya kompetitif yang sehat pada kalangan guru; (2) mengembangkan dan membina kesadaran ilmiah untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi pemberdayaannya agar wawasan dan pengetahuannya selalu berkembang; (3) meningkatkan wawasan pengetahuan, kompetensi, motivasi, profesionalisme, dan kerja keras untuk mengembangkan IPTEK (Getteng, 2013).

6.      Penghargaan lainnya

Penghargaan lainnya untuk guru yang mengikuti program kerjasama pendidikan antar negara, khususnya bagi guru yang berprestasi. Kerjasama antar negara dilakukan baik di wilayah Asia maupun lainnya. Kerjasama antar negara bertujuan untuk saling pengertian antar anggotanya dan meningkatkan pemahaman. Melalui kerjasama ini, guru-guru berprestasi yang terpilih akan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan singkat bidang teknologi atau keahlian pembelajaran, studi banding, studi kebudayaan, dan sejenisnya. Kerjasama ini telah dilakukan dengan negara- negara ASEAN, Australia, Jepang, dan lain-lain. Penghargaan lainnya yang diberikan pada guru adalah Anugerah Konstitusi tingkat nasional bagi guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk semua jenis dan jenjang. Penerima penghargaan ini adalah guru-guru PKn terbaik yang diseleksi secara berjenjang mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional (Buniar, dkk., 2015).

Menurut Marjuni (2020), penghargaan akan menghasilkan manfaat, antara lain:

1.      Memberikan motivasi. Penghargaan akan dapat meningkatkan motivasi guru terhadap ukuran kinerja, sehingga membantu guru dalam memutuskan bagaimana cara untuk mangalokasikan waktu dan usaha mereka.

2.      Memberikan informasi. Penghargaan dapat menarik perhatian guru dan memberikan informasi atau mengingatkan kepada mereka mengenai pentingnya usaha yang diberi penghargaan dibandingkan dengan hal yang lain.

 

Daftar Pustaka

Buniar., Sartika, D., Noviarti, & Mismawati. 2015. Perlindungan dan Penghargaan Profesi Guru, (Online), (https://pdfslide.net/documents/makalah-perlindungan-dan-penghargaan-gurudocx.html), diakses 21 Maret 2021.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas RI: Jakarta.

Getteng, A. R. 2013. Menuju Guru Profesional dan Beretika. Yogyakarta: Grha guru guru, 2013

Marjuni. H. A. 2020. Penghargaan Profesi Guru Sebagai Agen Perubahan. Jurnal Inspiratif Pendidikan, 9 (2), 208-217. Dari http://103.55.216.56/index.php/Inspiratif-Pendidikan/article/view/18341/10261.

Muslich, M. 2020. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sudarma, M. 2013. Profesi Guru: Dipuji, Dikritisi, dan Dicaci. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sutarsih, C. 2012. Etika Profesi. Kementerian Agama: Jakarta.


 

PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOAL HIGH ORDER THINKING SKILLS (HOTS) DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

Kurikulum 2013 versi 2016 yang berlaku di Indonesia saat ini meminta guru untuk melaksanakan pembelajaran yang dapat mempengaruhi siswa untu...