Selasa, 11 Mei 2021

PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOAL HIGH ORDER THINKING SKILLS (HOTS) DALAM PEMBELAJARAN FISIKA


Kurikulum 2013 versi 2016 yang berlaku di Indonesia saat ini meminta guru untuk melaksanakan pembelajaran yang dapat mempengaruhi siswa untuk berpikir kritis dan mempunyai keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills atau HOTS) (Husnawati, dkk., 2019). Kompetensi Inti Pengetahuan Kurikulum 2013 menjelaskan bahwa peserta didik diharapkan mampu memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan. Begitupun juga pada Kompetensi Inti Keterampilan peserta didik diharapkan mampu mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan (Malik, dkk., 2015).

Salah satu tugas yang penting dilakukan oleh guru adalah mengembangkan instrumen penilaian. Proses pembelajaran yang baik akan tercermin dari penilaian hasil belajar yang dilakukan dengan menggunakan instrumen penilaian yang tepat dan sesuai dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang telah ditetapkan (Siswoyo & Sunaryo, 2017). Dalam hal ini, pengembangan soal HOTS sangat diperlukan dalam suatu pembelajaran untuk melatih siswa berpikir kritis, tak terkecuali juga dalam pembelajaran fisika.

Menurut Efendi (2010), berdasarkan hasil TIMSS diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) rata-rata pencapaian fisika siswa Indonesia yang ditinjau dari aspek kognitif masih rendah; (2) kecenderungan pencapaian fisika siswa Indonesia selalu menurun pada setiap aspek kognitif. Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan berpikir siswa masih rendah adalah kurang terlatihnya siswa Indonesia dalam meyelesaikan tes atau soal yang menuntut adanya analisis, evaluasi, dan kreativitas. Soal-soal yang mempunyai karakteristik tersebut adalah soal-soal untuk mengukur HOTS (Dewi & Riandi, 2016).

Peningkatan HOTS merupakan salah satu prioritas dalam pembelajaran sains dalam sekolah. Pengajaran HOTS dilandasi dua filosofi: harus ada materi atau pelajaran khusus tentang berfikir dan mengintegrasikan kegiatan berfikir ke dalam pembelajaran fisika. Dengan demikian, keterampilan berfikir terutama HOTS perlu dikembangkan dan menjadi bagian dari pelajaran fisika sehari-hari. Dengan pendekatan ini, keterampilan berfikir dapat dikembangkan dengan cara membantu siswa dalam memecahkan permasalahan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, guru harus menyediakan masalah (soal) yang memungkinkan peserta didik mengunakan HOTS (Pratama & Istiyono, 2015).

High Order Thinking Skills (HOTS) adalah konsep reformasi pendidikan berdasarkan taksonomi bloom. Idenya adalah bahwa beberapa jenis pembelajaran memerlukan pengolahan lebih kognitif daripada yang lain, tetapi juga memiliki manfaat yang lebih umum (Siswoyo & Sunaryo, 2017).  Dalam taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2001) keterampilan analisis, evaluasi dan sintesis merupakan tingkat berpikir yang lebih tinggi, yang mana memerlukan pembelajaran dan metode pengajaran yang berbeda daripada sekedar belajar fakta-fakta dan konsep. Berpikir tingkat tinggi (HOTS) melibatkan keterampilan menilai yang kompleks, misalnya berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Soal HOTS memiliki hubungan yang sangat erat dengan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial dalam segala aspek kehidupan, termasuk juga di bidang Pendidikan (Husnawati, dkk., 2019). Menurut Yee, dkk (2011), berpikir tingkat tinggi dikategorikan sebagai berpikir yang non algoritmik, bermakna, kompleks, menghasilkan banyak solusi, sukar, sarat dugaan, tidak pasti, dan memiliki banyak kriteria.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi mendorong seseorang untuk dapat menerapkan informasi baru atau pengetahuan sebelumnya dan memanipulasi informasi untuk menjangkau kemungkinan jawaban dalam situasi baru (Heong, dkk., 2011). Menurut taksonomi Bloom yang telah direvisi, proses kognitif terbagi menjadi kemampuan berpikir tingkat rendah meliputi kemampuan mengingat, memahami, dan menerapkan, sedangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan (Anderson & Krathwohl, 2001).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa melalui pengembangan soal-soal HOTS diharapkan para pendidik dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dengan tepat dan dapat melatih siswa dengan soal-soal HOTS, sehingga dapat meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia, khususnya pada kemampuan berpikir tingkat tinggi.

 

Daftar Pustaka

Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy of Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.

Dewi, N. & Riandi, R. 2016. Analisis Kemampuan Berpikir Kompleks Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Mind Mapping. Jurnal EduSains, 8 (1), 98-107. Dari http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/edusains/article/view/1805.

Efendi, R. 2010. Kemampuan Fisika Siswa Indonesia dalam TIMSS. Prosiding Seminar Nasional Fisika 2010. ISBN: 978-979-98010-6-7.

Heong, Y. M., Othman, W.D., Yunos, M. D. J., Kiong, T.T., Hassan, R., & Mohamad, M. M. 2011. The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills Among Technical Education Students. International Journal of Social and Humanity, 1 (2), 121-125. Dari https://www.semanticscholar.org/paper/The-Level-of-Marzano-Higher-Order-Thinking-Skills-Heong-Othman/6e5a76e3994e6a23df6c3296dd9d9c940d1198b7?p2df.

Husnawati, A., Hartono., & Masturi. 2019. Pengembangan Soal Higher Order Thinking Skill (HOTS) Fisika Kelas VIII SMP Materi Gerak Pada Benda. Unnes Physics Education Journal, 8 (2), 134-140. Dari https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/upej/article/view/33320.

Malik, A., Ertikanto, C., & Suyatna, A. 2015. Deskripsi Kebutuhan HOTS Assessment Pada Pembelajaran Fisika dengan Metode Inkuiri Terbimbing. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF2015, 4, 4. Dari http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/prosidingsnf/article/view/5011.

Pratama, N. S. & Istiyono, E. 2015. Studi Pelaksanaan Pembelajaran Fisika Berbasis Higher Order Thinking (Hots) pada Kelas X di SMA Negeri Kota Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika (SNFPF) Ke-6 2015, 6 (1), 104-112. Dari https://www.neliti.com/publications/172905/studi-pelaksanaan-pembelajaran-fisika-berbasis-higher-order-thinking-hots-pada-k.

Siswoyo. & Sunaryo. 2017. High Order Thinking Skills: Analisis Soal dan Implementasinya dalam Pembelajaran Fisika di Sekolah Menengah Atas. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika, 3 (1), 11-20. Dari http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jpppf/article/view/2498.

Yee, M. H., Othman, W., Yunos, M. D. J., Tee, T. K., Hassan, R., & Mohamad, M. M. 2011. The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among Technical Education Students. International Journal of Social Science and Humanity, 1 (2), 121-125. Dari http://merr.utm.my/1589/.


 

Minggu, 09 Mei 2021

PENTINGNYA ETIKA PROFESI GURU UNTUK MEMINIMALISIR PELANGGARARAN HUKUM


Tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dituangkan dalam Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai aturan pelaksanaannya, maka legislator mengembangkan instrumen melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Tujuannya yaitu untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan guru sebagai upaya preventif dalam mengeliminasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru. Adanya perundangan tersebut memberikan ruang bagi guru untuk mengembangkan organisasi profesi (Astuti, 2012).

Melalui organisasi profesi, Kode Etik Guru dapat dilahirkan dan diterapkan, sehingga dapat mengontrol dan menjaga perilaku guru. Tahun 2008, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi guru berhasil mengembangkan Kode Etik Guru (Astuti, 2012). Namun, adanya pengembangan kode etik guru tidak serta merta langsung dipatuhi oleh guru. Hingga saat ini, masih banyak terjadi peristiwa yang menunjukkan ketidakprofesionalitasan guru.

 

Bentuk lain perilaku guru yang dinilai oleh masyarakat sebagai ketidakprofesionalitasan guru adalah kekerasan kepada siswa pada saat pengajaran di sekolah. Perilaku ini menjadi sangat disoroti tidak saja oleh masyarakat, tetapi juga sejumlah pihak, seperti lembaga perlindungan anak. Kekerasan itu tidak saja berupa fisik, tetapi simbolik, atau kedua-duanya dilakukan secara bersamaan. Upaya represif dalam penyelesaian pelanggaran-pelanggaran hukum di atas seringkali menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup banyak, dapat menimbulkan cap (labeling) yang susah untuk dihilangkan. Untuk itu, perlu dipikirkan upaya lain yang dapat mengeliminasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru tanpa menimbulkan akibat negative (Astuti, 2012).

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru dapat dieliminiasi melalui upaya preventif, yaitu dengan menerapkan Etika Profesi Guru yang disusun oleh Organisasi Profesi Guru sesuai dengan amanat UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen. Upaya preventif ini lebih efektif dan efisiensi jika dibandingkan dengan upaya represif, karena mencegah lebih baik dari pada mengobati, sosialisasi, implementasi dan pengawasan (Purwoleksono, 2008).

Etika Profesi Guru menjadi tanggung jawab Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia yang telah terbentuk pada bulan Pebruari tahun 2011, Untuk itu Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia harus bekerja keras melaksanakan perannya sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam upaya pencegahan terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya (Harun, 2016).

Pentingnya Etika Profesi Guru dalam mengeliminasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru, maka masyarakat sebagai harus ikut berperan sebagai pengkontrol pelaksanaan Etika Profesi Guru. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui pengawasan kerja Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia dan memberikan penilaian kualitas dan perilaku guru dalam menjalankan tugasnya apakah masih melanggar hukum atau tidak.

 

Daftar Pustaka

Astuti, P. 2012. Etika Profesi Sebagai Upaya Preventif untuk Meminimalisasi Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Oleh Guru. Arena Hukum, 5 (3), 182-190. Dari https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/108/110.

Harun. 2016. Perlindungan Hukum Profesi Guru Dalam Perspektif Hukum Positif. Jurnal Law and Justice, 1 (1), 74-84. Dari http://journals.ums.ac.id/index.php/laj/article/view/2858.

Purwoleksono, D. E. 2008. Pidato Pengukuhan Guru Besar “Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undangundang”. Surabaya: Universitas Airlangga.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.


 

Selasa, 04 Mei 2021

PENTINGNYA LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) DALAM PEMBELAJARAN FISIKA


Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam yang merupakan hasil dari kegiatan manusia yang berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisir menganai alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam (Widyaningsih, 2011).

Adanya Pembelajaran fisika di sekolah bertujuan untuk membekali peserta didik mempunyai kompetensi teori dan konsep fisika yang telah dijabarkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tersirat dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2007 tentang Standar Isi dan nomor 23 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Lulusan khusus untuk pelajaran Fisika. Namun kenyataanya, proses pembelajaran fisika di sekolah masih terdapat kekurangan.

Mata pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang harus dipahami, bukan hanya sekadar dihafalkan. Kurangnya kemampuan peserta didik tersebut perlu ditemukan solusinya. Penggunaan media pembelajaran seperti buku Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik (Nurliawati, dkk., 2017).

Lembar kerja peserta didik (LKPD) adalah sebuah alat yang digunakan peserta didik yang didalamnya mencakup pemberian tugas, dengan tujuan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. LKPD biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan sebuah masalah. Penggunaan LKPD menjadikan peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Selain itu, guru juga dapat mengarahkan peserta didik untuk menemukan konsep melalui aktvitas individu maupun kelompok (Kahar & Layn, 2018).

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan salah satu bahan ajar yang penting untuk tercapainya keberhasilan dalam pembelajaran fisika. LKPD yaitu materi ajar  yang  sudah  dikemas sedemikian rupa, sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari  materi  ajar  tersebut  secara  mandiri. Langkah-langkah aplikatif membuat LKPD yaitu (Prastowo, 2011):

1. Melakukan analisis kurikulum

2. Menyusun peta kebutuhan LKPD

3. Menentukan judul-judul LPKD

4. Penulisan LKPD

Penyusunan LKPD harus memperhatikan aspek konsistensi, format, daya tarik, organsasi, ukuran huruf, dan ruang kosong (Usman & Asnawir, 2002). Konsistensi meliputi: a) penggunaan format yang bersesuaian setiap halaman, dan b) penyesuaian spasi dalam tulisan. Format meliputi: a) Jika paragraf yang panjang sering digunakan, tampilan satu kolom lebih disarankan, b) dipisahkan isi, kemudian diberi label secara visual, dan c) Perbedaan Strategi pembelajaran sebaiknya dipisahkan dan diberi label secara visual. Organisasi meliputi a) peserta didik harus mengetahui posisinya dalam teks, dan b) Menyusun teks. Daya tarik seperti setiap bagian dalam bab dibuat alinea baru, sehingga dapat memotivasi peserta didik untuk terus membaca. Ukuran Huruf mencakup: a) Memilih huruf yang sesuai dengan peserta didik, pesan, dan lingkungannya, dan b) Meminimalisir pemakaian huruf kapital pada semua teks, sehingga proses keterbacaan tulisan menjadi kurang baik. Ruang kosong meliputi: a) Menggunakan ruang kosong yang tidak berisi teks atau gambar untuk menambah kontras, dan (b) spasi antar baris sebaiknya disesuaikan untuk membantu keterbacaan.

Penggunaan LKPD ini sangat penting dilakukan dalam pembelajaran supaya lebih efektif, efisien, dan searah dengan kemampuan yang ingin dicapai. Kemampuan yang dimaksudkan adalah kemampuan dalam hal pengembangan kompetensi LKPD yang sebaiknya mampu dikuasai oleh guru, tetapi pada kondisi realitas yang terjadi sebagian besar guru belum menguasai hal tersebut dengan baik. Hal ini dikarenakan guru masih banyak yang melaksanakan pembelajaran dengan model konvensional tanpa memperhatikan kebaruan proses pembelajaran. Hal ini mengakibatkan peserta didik kurang aktif, kurang termotivasi, dan tidak mempunyai minat dalam pembelajaran karena pelaksanaan pembelajaran yang lebih kepada aspek mendengar (Kahar & Layn, 2018).

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) ini penting digunakan dalam pembelajaran fisika dengan tujuan sebagai penunjang proses pembelajaran dan penunjang pencapaian hasil belajar peserta didik dalam memahami suatu materi tertentu baik dalam segi teori maupun praktik. Sehingga dalam pengaplikasian pada kegiatan praktik dapat meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan (Kahar & Layn, 2018).

 

Daftar Pustaka

Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Depdiknas.

Kahar, M. S. & Layn, M. R. 2018. Analisis Respon Peserta Didik dalam Implementasi Lembar Kerja Berorientasi Pemecahan Masalah. Berkala Ilmiah Pendidikan Fisika, 6 (3), 292-300. Dari https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/bipf/article/view/5054.

Nurliawaty, L., Mujasam., Yusuf, I., & Widyaningsih, S. W. 2017. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis Problem Solving Polya. Jurnal Pendidikan Indonesia, 6 (1), 72-81. Dari https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JPI/article/view/9183/6326.

Prastowo, A. 2011. Panduan Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press.

Usman, M. B. & Asnawir, H. 2002. Media pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pres.

Widyaningsih, S. W. 2011. Pembentukan Karakter Bertanggung Jawab dan Rasa Ingin Tahu Melalui Penerapan Metode Quantum Learning dengan Menggunakan Media Alat Peraga Sederhana pada Pembelajaran Fisika. In Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pendidikan MIPA. Padang: Universitas Negeri Padang.

Minggu, 02 Mei 2021

IMPLEMENTASI CONTINUOUS IMPROVEMENT DALAM PEMBELAJARAN

         Continuous Improvement (Perbaikan Terus-Menerus) merupakan program dimana pihak pengelola senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggaraan pendidikan telah mencapai standar mutu yang ditetapkan dan institusi pendidikan senantiasa memperbarui proses berdasarkan kebutuhan dan tuntutan pelanggan (Muslimin, 2017).

            Menurut Caroly, dkk (2010) Continuous Improvement adalah sebuah proses yang bertujuan untuk mengoptimalkan informasi, arus fisik dan produk agar bisa dikendalikan biaya produksi dan kualitas. Sedangkan menurut Bessant, dkk (2001) Continuous Improvement adalah kumpulan rutinitas tertentu yang dapat membantu organisasi memperbaiki apa yang saat ini dilakukannya.

            Pembelajaran merupakan elemen penting dalam Continuous Improvement. Pembelajaran memberikan dasar rasional untuk bertindak. Tingkat dan luasnya Continuous Improvement dapat ditingkatkan dengan membuat perbaikan proses dan sistem. Sistem tersebut harus mendukung pengembangan keterampilan dan pengetahuan anggota organisasi dalam melakukan perbaikan (Muslimin, 2017).

Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2003), bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam merancang perbaikan berkesinambungan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam merancang Continuous Improvement antara lain: pendidikan, teladan manajer, tanggung jawab yang jelas, perbaikan diidentifikasikan sebagai strategi yang penting, identifikasi dan prioritas tindakan perbaikan, metode sistematis untuk perbaikan, pelatihan, review terhadap perbaikan, identifikasi hambatan perbaikan, mekanisme untuk membagi pembelajaran, dan pembelajaran sistematis siklus PDSA (Plan-Do- StudyAct).

Penerapan strategi Continuous Improvement dalam pembelajaran di sekolah yang memenuhi karakteristik sebagai berikut: Kebutuhan akan proses belajar yang terus menerus dari waktu ke waktu, Semua orang dalam organisasi harus menjadi peserta, Gagasan bisa datang dari siapapun dalam organisasi, Terus cari peluang baru, Memberdayakan orang untuk melakukan eksperimen. Dengan karakeristik tersebut maka strategi penerapan Continuous Improvement dalam Pembelajaran di sekolah dapat dibuat secara lebih jelas (Wasitohadi, 2003).

Dalam pembelajaran di sekolah juga tidak dapat lepas dari peran guru didalamnya. Dalam hal ini, diharapkan guru memiliki suatu kompetensi tertentu yang dapat mengarah kepada perbaikan secara terus menerus (Continuous Improvement). Kompetensi yang dimaksud adalah hal-hal yang memiliki indikator sebagai berikut: (Mufida, 2009)

(1)   Kompetensi ditunjang oleh latar  belakang  pengetahuan.

(2)   Kompetensi  dapat  dikenali  dari adanya  penampilan  dalam  melakukan  pekerjaan  itu  sesuai  dengan tuntutan.

(3)   Dalam  melakukan  kegiatan  itu  digunakan  prosedur  dan teknikyang  jelas  dan nalar, dan 

(4)   Dapat  dikenalinya  hasil  pekerjaan yang dicapai.

Menjadi guru profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan, misalnya selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (Continuous Improvement) melalui kegiatan penelitian, organisasi profesi, seminar, dan semacamnya. Selain itu, guru juga perlu memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya (Kunandar, 2011).

Daftar Pustaka

Bessant, J., Caffyn, S., & Gallagher, M. 2001. An Evolutionary Model of Continuous Improvement Behaviour. Elsevier: Technovation, 21 (2), 67-77. Dari https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0166497200000237.

Caroly, S., Coutarel, F., Landry, A., & Mary-Ceray, I. 2010. Sustainable MSD Prevention: Management for Continuous Improvement Between Prevention and Production. Ergonomic Intervention in Two Assembly Line Companies. Elsevier: Applied Ergonomis, 41 (4), 591-599. Dari https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0003687010000049.

Kunandar. 2011. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Mufida, L. N. 2009. Aktualisasi TQM dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru di Lembaga Pendidikan Islam. Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 4 (1), 91-105. Dari http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/tadris/article/view/246.

Muslimin. 2017. Implementasi Continuous Improvement Sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Guru SDIT Mutiara Hati Purwareja Klampok Banjarnegara. Tesis. Purwokerto: Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.

Tjiptono, F. & Diana, A. 2003. Total Quality Management (TQM). Jogjakarta: Andi Offset.

Wasitohadi. 2003. Otonomi Daerah Bidang Pendidikan di Kota Salatiga (Studi tentang Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di SMA 1 Pabelan). Tesis. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

 

PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOAL HIGH ORDER THINKING SKILLS (HOTS) DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

Kurikulum 2013 versi 2016 yang berlaku di Indonesia saat ini meminta guru untuk melaksanakan pembelajaran yang dapat mempengaruhi siswa untu...