Tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dituangkan
dalam Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai aturan pelaksanaannya, maka legislator
mengembangkan instrumen melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Tujuannya yaitu untuk meningkatkan
profesionalitas dan kesejahteraan guru sebagai upaya preventif dalam mengeliminasi
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru. Adanya perundangan tersebut
memberikan ruang bagi guru untuk mengembangkan organisasi profesi (Astuti, 2012).
Melalui organisasi profesi, Kode Etik Guru dapat dilahirkan dan
diterapkan, sehingga dapat mengontrol dan menjaga perilaku guru. Tahun 2008,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi guru
berhasil mengembangkan Kode Etik Guru (Astuti, 2012). Namun, adanya pengembangan
kode etik guru tidak serta merta langsung dipatuhi oleh guru. Hingga saat ini,
masih banyak terjadi peristiwa yang menunjukkan ketidakprofesionalitasan guru.
Bentuk lain perilaku guru yang dinilai oleh masyarakat sebagai
ketidakprofesionalitasan guru adalah kekerasan kepada siswa pada saat pengajaran
di sekolah. Perilaku ini menjadi sangat disoroti tidak saja oleh masyarakat,
tetapi juga sejumlah pihak, seperti lembaga perlindungan anak. Kekerasan itu
tidak saja berupa fisik, tetapi simbolik, atau kedua-duanya dilakukan secara
bersamaan. Upaya represif dalam penyelesaian pelanggaran-pelanggaran hukum di
atas seringkali menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, membutuhkan waktu,
tenaga dan biaya yang cukup banyak, dapat menimbulkan cap (labeling) yang susah
untuk dihilangkan. Untuk itu, perlu dipikirkan upaya lain yang dapat
mengeliminasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru tanpa menimbulkan
akibat negative (Astuti, 2012).
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru dapat dieliminiasi
melalui upaya preventif, yaitu dengan menerapkan Etika Profesi Guru yang
disusun oleh Organisasi Profesi Guru sesuai dengan amanat UU Sisdiknas dan UU
Guru dan Dosen. Upaya preventif ini lebih efektif dan efisiensi jika
dibandingkan dengan upaya represif, karena mencegah lebih baik dari pada
mengobati, sosialisasi, implementasi dan pengawasan (Purwoleksono, 2008).
Etika Profesi Guru menjadi tanggung jawab Dewan Kehormatan Profesi
Guru Indonesia yang telah terbentuk pada bulan Pebruari tahun 2011, Untuk itu
Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia harus bekerja keras melaksanakan
perannya sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam upaya pencegahan
terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya (Harun,
2016).
Pentingnya Etika Profesi Guru dalam mengeliminasi pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh guru, maka masyarakat sebagai harus ikut berperan sebagai pengkontrol
pelaksanaan Etika Profesi Guru. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui
pengawasan kerja Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia dan memberikan
penilaian kualitas dan perilaku guru dalam menjalankan tugasnya apakah masih
melanggar hukum atau tidak.
Daftar
Pustaka
Astuti, P. 2012. Etika Profesi Sebagai Upaya Preventif untuk Meminimalisasi Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Oleh Guru. Arena Hukum, 5 (3), 182-190. Dari https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/108/110.
Harun. 2016. Perlindungan Hukum Profesi Guru Dalam Perspektif Hukum Positif. Jurnal Law and Justice, 1 (1), 74-84. Dari http://journals.ums.ac.id/index.php/laj/article/view/2858.
Purwoleksono, D. E. 2008. Pidato Pengukuhan Guru Besar
“Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undangundang”. Surabaya:
Universitas Airlangga.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar